BAB
II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Belajar Mengajar
Dalam
kegiatan belajar mengajar, anak adalah sebagai subjek dan sebagai objek dari
kegiatan pembelajaran. Karena itu, inti proses pembelajaran tidak lain adalah
kegiatan belajar anak didik dalam mencapai suatu tujuan pembelajaran. Tujuan
pembelajaran tentu saja akan dapat tercapai jika anak didik berusaha secara
aktif untuk mencapainya. Keaktifan anak didik disini tidak hanya dituntut dari
segi fisik, tetapi juga dari segi kejiwaan.
Bila hanya fisik anak yang aktif, tetapi mental dan fikirannya kurang aktif, maka kemungkinan besar tujuan pembelajaran tidak tercapai. Ini sama halnya anak didik tidak belajar, karena anak didik tidak merasakan perubahan di dalam dirinya. Padahal belajar pada hakikatnya adalah “perubahan” yang terjadi di dalam diri seseorang setelah berakhirnya melakukan aktivitas belajar. Walaupun pada kenyataannya tidak semua perubahan termasuk kategori belajar. Misalnya, perubahan fisik, mabuk, gila, dan sebagainya.
Bila hanya fisik anak yang aktif, tetapi mental dan fikirannya kurang aktif, maka kemungkinan besar tujuan pembelajaran tidak tercapai. Ini sama halnya anak didik tidak belajar, karena anak didik tidak merasakan perubahan di dalam dirinya. Padahal belajar pada hakikatnya adalah “perubahan” yang terjadi di dalam diri seseorang setelah berakhirnya melakukan aktivitas belajar. Walaupun pada kenyataannya tidak semua perubahan termasuk kategori belajar. Misalnya, perubahan fisik, mabuk, gila, dan sebagainya.
Kegiatan
mengajar bagi seorang guru menghendaki hadirnya sejumlah anak didik. Berbeda
dengan belajar. Belajar tidak selamanya memerlukan kehadiran seorang guru.
Cukup banyak aktivitas yang dilakukan oleh seseorang di luar dari keterlibatan
guru. Belajar di rumah cenderung menyendiri dan terlalu banyak mengharapkan
bantuan dari orang lain. Apalagi aktivitas belajar itu berkenaan dengan
kegiatan membaca sebuah buku tertentu.
Mengajar
pasti merupakan kegiatan yang mutlak memerlukan keterlibatan anak didik. Hal
ini perlu sekali guru sadari agar tidak terjadi kesalahan tafsir terhadap
kegiatan pembelajaran. Karena itu, belajar dan mengajar merupakan istilah yang
sudah baku dan menyatu di dalam konsep pembelajaran.
Biasanya
permasalahan yang guru hadapi ketika berhadapan dengan sejumlah anak didik
adalah masalah pengelolaan kelas. Apa, siapa, bagaimana, kapan, dan di mana
adalah serentetan pertanyaan yang perlu dijawab dalam hubungannya dengan
masalah pengelolaan kelas. Peranan guru itu paling tidak berusaha mengatur suasana
kelas yang kondusif bagi kegairahan dan kesenangan belajar anak didik. Setiap
kali guru masuk kelas selalu dituntut untuk mengelola kelas hingga berakhirnya
kegiatan belajar mengajar. Jadi, masalah pengaturan kelas ini tidak akan pernah
sepi dari kegiatan guru. Semua kegiatan itu guru lakukan tidak lain demi
kepentingan anak didik, demi keberhasilan belajar anak didik.
Sama
halnya dengan belajar, mengajar pun pada hakikatnya adalah suatu proses, yaitu
proses mengatur, mengorganisasi lingkungan yang ada disekitar anak didik, sehingga
dapat menumbuhkan dan mendorong anak didik melakukan proses belajar. Pada tahap
berikutnya mengajar adalah proses memberikan bimbingan atau bantuan kepada anak
didik dalam melakukan proses belajar. (Nana Sudjana, 1991 : 29).
Peranan
guru sebagai pembimbing bertolak dari cukup banyaknya anak didik yang
bermasalah. Dalam belajar ada anak didik yang cepat mencerna bahan, ada anak
didik yang sedang mencerna bahan, dan ada pula anak didik yang lamban mencerna
bahan yang diberikan oleh guru. Ketiga tipe belajar anak didik ini menghendaki
agar guru mengatur strategi pengajarannya yang sesuai dengan gaya-gaya belajar
anak didik. Akhirnya, bila hakikat belajar adalah “perubahan”, maka hakikat
belajar mengajar adalah proses “pengaturan” yang dilakukan oleh guru.
B. Ciri-Ciri Belajar
Mengajar
Sebagai
suatu proses pengaturan, kegiatan belajar mengajar tidak terlepas dari
ciri-ciri tertentu, yang menurut Edi
Suardi sebagai berikut:
1. Belajar
mengajar memiliki tujuan, yaitu untuk membentuk anak didik dalam suatu
perkembangan tertentu. Inilah yang dimaksud dengan kegiatan belajar mengajar
itu sadar akn tujuan, dengan menempatkan anak didik sebagai pusat perhatian.
2. Ada
suatu prosedur (jalannya interaksi) yang direncanakan, didesain untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Agar dapat mencapai tujuan secara optimal, maka
dalam menentukan interaksi perlu ada prosedur, atau langkah-langkah sistematik
dan relevan. Untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran yang satu dengan yang
lain, mungkin akan membutuhkan prosedur dan desain yang berbeda pula.
Sebagai contoh, misalnya
tujuan pembelajaran agar anak didik dapat menunjukkan letak kota New York tentu kegiatannya tidak cocok
kalau anak didik disuruh membaca dalam hati; dan begitu seterusnya.
3. Kegiatan
belajar mengajar ditandai dengan satu penggarapan materi yang khusus. Dalam hal
ini materi harus didesain sedemikian rupa, sehingga cocok untuk mencapai
tujuan. Sudah barang tentu dalam hal ini perlu memperhatikan komponen-komponen
yang lain, apalagi komponen anak didik yang merupakan sentral. Materi sudah
harus didesain dan disiapkansebelum berlangsungnya kegiatan belajar mengajar.
4. Ditandai
dengan aktivitas anak didik. Sebagai konsekuensi bahwa, bahwa anak didik
merupakan syarat mutlak bagi berlangsungnya kegiatan belajar mengajar.
Aktivitas anak didik dalam hal ini, baik secara fisik maupun secara mental,
aktif. Inilah yang sesuai dengan konsep CBSA. Jadi, tidak ada gunanya melakukan
kegiatan belajar mengajar, kalau anak didik hanya pasif. Karena anak didiklah
yang belajar, maka merekalah yang harus melakukannya.
5. Dalam
kegiatan belajar mengajar, guru berperan sebagai pembimbing. Dalam peranannya
sebagai pembimbing, guru harus berusaha
menghidupkan dan memberikan motivasi, agar terjadi proses interaksi yang
kondusif. Guru harus siap sebagai mediator dalam segala situasi proses belajar
mengajar, sehingga guru akan merupakan tokoh yang dilihat dan ditiru tingkah
lakunya oleh anak didik.
6. Dalam
kegiatan belajar mengajar membutuhkan disiplin. Disiplin dalam kegiatan belajar
mengajar ini diartikan sebagai suatu pola tingkah laku yang diatur sedemikian
rupa menurut ketentuan yang sudah ditaati oleh guru dan anak didik dengan
sadar. Mekanisme konkrit dari ketaatan pada peraturan atau tata tertib itu akan
terlihat dari pelaksanaann prosedur. Jadi, langkah-langkah yang dilaksanakan
sesuai dengan prosedur yang sudah digariskan. Penyimpangan dari prosedur
berarti suatu indikator pelanggaran disiplin.
7. Ada
batas waktu. Untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran tertentu dalam sistem
berkelas, batas waktu menjadi salah satu ciri yang tidak bisa ditinggalkan.
Setiap tujuan akan diberi waktu tertentu, kapan tujuan itu sudah harus tercapai.
8. Evaluasi.
Dari seluruh kegiatan diatas, masalah evalusai bagian penting yang tidak bisa
diabaikan, setelah guru melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Evaluasi harus
guru lakukan untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan pembelajaran yang telah
ditentukan.
C. Komponen-Komponen Belajar
Mengajar
Sebagai
suatu sistem tentu saja kegiatan belajar mengajar mengandung sejumlah komponen
yang meliputi tujuan, bahan pelajaran, metode, alat, sumber, dan evaluasi.
Penjelasan dari setiap komponen tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Tujuan
Tujuan
adalah suatu cita-cita yang ingin dicapai dari pelaksanaan suatu kegiatan.
Tidak ada satu kegiatan yang diprogramkan tanpa tujuan, karena hal itu adalah
suatu hal yang tidak memiliki kepastian dalam menentukan ke arah mana kegiatan
itu akan dibawa.
Sebagai
unsur penting untuk suatu kegiatan, mka dalam kegiatan apa pun tujuan tidak
bisa diabaikan. Demikian halnya juga dengan kegiatan belajar mengajar. Dalam
kegiatan belajar mengajar, tujuan dalah suatu cita-cita yang ingin dicapai
dalam kegiatannya. Kegiatan belajar mengajaer tidak bisa dibawa sesuka hati,
kecuali untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Tujuan
dalam pendidikan dan pengajaran adalah suatu cita-cita yang bernilai normatif.
Dengan kata lain, dalam tujuan terdapat sejumlah nilai yang harus ditanamkan
kepada anak didik. Nilai-nilai itu
nantinya akan mewarnai cara anak didik bersikap dan berbuat dalam lingkungan
sosialnya, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Tujuan mempunyai jenjang
dari yang luas dan umum sampai kepada yang sempit/khusus. Semua tujuan itu
berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya, dan tujuan dibawahnya
menunjang tujuan diatasnya. Bila tujuan terendah tidak tercapai, maka tujuan
diatasnya juga tidak tercapai, sebagai rumusan tujuan terendah biasanya
menjadikan tujuan diatasnya sebagai pedoman. Ini berarti bahwa dalam merumuskan
tujuan harus benar-benar memperhatikan kesinambungan setiap jenjang tujuan
dalam pendidikan dan pengajaran.
Tujuan
adalah komponen yang dapat mempengaruhi komponen pembelajaran lainnya seperti
bahan pelajaran, kegiatan belajar mengajar, pemilihan metode, alat, sumber, dan
alat evaluasi. Semua komponen itu harus bersesuaian dan didayagunakan untuk
mencapai tujuan seefektif dan seefesien mungkin. Bila salah satu komponen tidak
sesuai dengan tujuan, maka pelaksanaan kegiatan belajar mengajar tidak akan
dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Ny.
Dr. Roestiyah, N.K. (1989:44) menyatakan bahwa suatu tujuan pengajaran adalah deskripsi
tentang penampilan perilaku (performance) murid-murid yang kita harapkan
setelah mempelajari bahan pelajaran yang kita ajarkan. Suatu tujuan pengajaran
mengatakan suatu hasil yang kita harapkan dari pengajaran itu dan bukan sekadar
suatu proses dari pengajaran itu sendiri. Akhirnya, guru tidak bisa mengabaikan
masalah perumusan tujuan bila ingin memprogramkan pembelajaran.
2.
Bahan
Pelajaran
Bahan
pelajaran adalah substansi yang akan disampaikan dalam proses belajar mengajar.
Tanpa bahan pelajaran proses belajar mengajar tidak akan berjalan. Karena itu,
guru yang akan mengajar pasti memiliki dan menguasai bahan pelajaran yang akan
disampaikannya pada anak didik. Ada dua persoalan dalam penguasan bahan
pelajaran ini, yakni penguasaan bahan pelajaran pokok dan bahan pelajaran
pelengkap. Bahan pelajaran pokok adalah bahan pelajaran yang menyangkut bidang
studi yang dipegang oleh guru sesuai dengan disiplinn ilmunya. Sedangkan bahan
pelajaran pelengkap atau penunjang adalah bahan pelajaran yang dapat membuka
wawasan seorang guru dalam mengajar dapat menunjang penyampaian bahan pelajaran
pokok. Bahan penunjang ini biasanya bahan yang terlepas dari disiplin keilmuan
guru, tetapi dapat digunakan sebagai penunjang dalam penyampaian bahan
pelajaran pokok. Pemakaian bahan pelajaran penunjang ini harus disesuaikan
dengan bahan pelajaran pokok yang dipegang agar dapat memberikan motivasi
kepada sebagian besar atau semua anak didik.
Bahan
adalah salah satu sumber belajar bagi anak didik. Bahan yang disebut sebagai
sumber belajar ini adalah sesuatu yang membawa pesan untuk tujuan pengajaran.
(Sudirman, N.K, 1991 : 203). Bahan pelajaran menurut Dr. Suharsimi Arikunto
(1990) merupakan unsur inti yang ada dalam kegiatan belajar mengajar, karena
memang bahan pelajaran itulah yang diupayakan untuk dikuasai oleh anak didik.
Karena itu, guru khususnya atau pengembang kurikulum umumnya, tidak boleh lupa
harus memikirkan sejauh mana bahan-bahan yang berkaitan dengan kebutuhan anak
didik pada usia tertentu dan dalam lingkungan tertentu pula. Minat anak didik
akan bangkit apabila suatu bahan diajarkan sesuai dengan kebutuhan anak didik.
Maslow berkeyakinan bahwa minat seseorang akan muncul bila sesuatu iti terkait
dengan kebutuhannya. (Sadirman, A.M., 1998 : 81). Jadi, bahan pelajaran yang
sesuai dengan kebutuhan anak didik akan memotivasi anak didik dalam jangk waktu
tertentu.
Biasaya
aktivitas anak didik akan berkurang bila bahan pelajaran yang guru berikan tidak
atau kurang menarik perhatiannya, disebabkan cara mengajar yang mengabaikan
prinsip-prinsip mengajar. Guru merasa pintar dengan menggunakan bahasa yang
tidak sesuai dengan perkembangan bahasa dan jiwa anak didik akan lebih banyak
mengalami kegagalan dalam menyampaikan bahan pelajaran dalam proses belajar
mengajar. Karena itu, lebih baik lebih baik menyampaikan bahan pelajaran sesuai
dengan perkembangan bahasa anak didk daripada menuruti kehendak pribadi. Ini
perlu mendapat perhatian yang serius, agar anak didik tidak dirugikan oleh
sikap dan tindakan guru yang keliru.
3.
Kegiatan
Belajar Mengajar
Kegiatan
belajar mengajar adalah inti kegiatan dalam pendidikan. Segala sesuatu yang
telah diprogramkan akan dilaksanakan dalam proses belajar mengajar. Dalam
kegiatan belajar mengajar akan melibatkan semua komponen pembelajaran, kegiatan
belajar mengajar akan menentukan sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan akan
tercapai.
Dalam
kegiatan belajar mengajar, guru dan anak didik terlibat dalam sebuah interaksi
dengan bahan pelajaran sebagai medianya. Dalaam interaksi itu anak didiklah
yang lebih aktif, bukan guru. Guru hanya berperan sebagai motivator dan
fasilitator. Inilah sistem pengajaran yang dikehendaki dalam pengajaran dengan
pendekatan CBSA dalam pendidikan modern. Kegiatan belajar mengajar pendekatan
CBSA menghendaki aktivitas anak didik seoptimal mungkin. Keaktifan anak didik
menyangkut kegiatan fisik dan mental. Aktivitas anak didik bukan hanya secara
individual, tetapi juga dalam kelompok sosial. Aktivitas anak didik dalam
kelompok sosial akan membuahkan interaksi dalam kelompok. Interaksi dikatakan
maksimal bila interaksi itu terjadi antara guru dengan semua anak diduk, antara
anak dengan guru, dan antara anak didik dengan anak didik dalam rangka
bersama-sama mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama.
Dalam
kegiatan belajar mengajar, guru sebaiknya memperhatikan perbedaan individual
anak didik, yaitu pada aspek biologis, intelektual, dan psikologis. Kerangka
berikir demikian dimaksudkan agar guru mudah dalam melakukan pendekatan kepada
anak didik secara individual. Anak didik sebagai individu memiliki perbedaan dalam
hal sebagaimana disebutkan diatas. Pemahaman terhadap ketiga aspek tersebut
akan merapatkan hubungan guru dengan anak didik, sehingga memudahkan melakukan
pendekatan dalam pembelajaran.
Dengan
demikian, kegiatan belajar mengajar yang bagaimanapun, juga ditentukan dari
baik atau tidaknya program pengajaran yang telah ditentukan dan akan
berpengaruh terhadap tujuan yang akan dicapai.
4.
Metode
Metode
adalah suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Dalam kegiatan belajar mengajar metode diperlukan oleh guru dan penggunaannya
bervariasi sesuai dengan tujuan yang ingi dicapai setelah proses pembelajaran
berakhir. Seorang guru tidak akan dapat melaksanakan tugasnya bila dia tidak
dapat menguasai satu pun metode mengajar yang dirumuskn dan dikemukakan para
ahli psikologi dan pendidikan (Syaiful Bahri Djamarah, 1991 : 72).
Dalam
kegiatan belajar mengajar, guru tidak harus terpaku dengan satu metode, tetapi
guru sebaiknya menggunakan metode yang bervariasi agar jalannya pembelajaran
tidak membosankan, tetapi menarik perhatian anak didik. Tetapi juga penggunaaan
metode yang bervariasi tidak akan menguntungkan kegiatan belajar mengajar jika
penggunaannya tidak tepat dan sesuai dengan kondisi yang mendukungnya dan
dengan kondisi psikologis anak didik. Oleh karena itu, di sinilah kompetensi
guru diperlukan dalam pemilihan metode yang tepat. Oleh karena itu, pemilihan
dan penggunaan metode yang bervariasi tidak selamanya menguntungkan bila guru
mengabaikan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Prof. Dr. Winarno Surakhmad,
M.Sc. M.Ed., mengemukakan lima faktor yang mempengaruhi penggunaan metode
belajar sebagai berikut:
a. Tujuan
yang berbagai-bagai jenis dan fungsinya,
b. Anak
didik yang berbagai tingkat kematangannya,
c. Situasi
yang berbagai-bagai keadaannya,
d. Fasilitas
yang berbagai-bagai kualitas dan kuantitasnya,
e. Pribadi
guru serta kemampuan profesionalnya yang berbeda-beda.
5.
Alat
Alat
adalah segala sesuatu yang dapat digunakan dalam rangka mencapai tujuan
pembelajaran. Sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan dalam mencapai tujuan
pembelajaran, alat mempunyai fungsi, yaitu alat sebagai perlengkapan, alat
sebagai pembantu mempermudah usaha mencapai tujuan, dan alat sebagai tujuan
(Dr. Ahmad D. Marimba, 1989 : 51).
Alat
dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu alat dan alat bantu pembelajaran. Yang
dimaksud dengan alat adalah berupa suruhan, perintah, larangan, dan sebagainya.
Sedangkan alat bantu pembelajaran adalah berupa globe, papan tulis, spidol,
kapur tulis, gambar, video, dan sebagainya.
Alat
material termasuk alat bantu audiovisual di dalamnya. Penggunaan alat bantu
audiovisual dalam proses belajar mengajar sangat didukung oleh Dwyer (1967),
salah satu tokoh aliran realisme. Aliran realisme berasumsi bahwa belajar yang
sempurna hanya dapat tercapai jika digunakan bahan-bahan audiovisual yang
mendekati realitas. Menurut Miller, dkk. (1957), lebih banyak bahan audiovisual
yang mendekati realisasi, makin mudah terjadi proses belajar. Karenanya, ada
kecenderungan dari pihak guru untuk memberikan bahan pelajaran sebanyak mungkin
dengan memberikan penjelasan yang mendekati realitas kehidupan dan pengalaman
peserta didik.
Sebagai
alat bantu dalam pendidikan dan pembelajaran, alat material (audiovisual)
mempunyai sifat sebagai berikut:
a. Kemampuan
untuk meningkatkan persepsi,
b. Kemampuan
untuk meningkatkan pengertian,
c. Kemampuan
untuk meningkatkan transper belajar,
d. Kemampuan
untuk memberikan penguatan atau pengetahuan hasil yang dicapai,
e. Kemampuan
untuk meningkatkan retensi (ingatan).
6.
Sumber
Pelajaran
Belajar
mengajar sudah diketahui adalah proses penyampaian sejumlah nilai-nilai kepada
anak didik. Nilai-nilai itu tidak datang dengan sendirinya, tetapi diambil dari
berbagai sumber guna dipakai dalam proses belajar mengajar. Jadi, dari berbagai
sumberberlah bahan belajar itu diambil
Sumber
bahan pelajaran adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai tempat di
mana bahan pengajaran terdapat atau asal untuk belajar seseorang (Drs. Udin
Saripuddin Winataputra, M.A. dan Drs. Rustana Ardiwinata, 1991 : 165). Dengan
demikian, sumber pelajaran itu merupakan bahan/materi untuk menambah ilmu
pengetahuan yang mengandung hal-hal baru bagi si pelajar. Sebab pada hakikatnya
belajar adalah untuk mendapatkan hal-hal baru.
Sumber
belajar sesungguhnya banyak sekali terdapat di mana-mana: di sekolah, di
halaman, di pusat kota, di pedesaan, dan sebagainya. Pemanfaatan sumber-sumber
belajar tersebut tergantung pada kreativitas guru, waktu, biaya, serta
kebijakan-kebijakan lainnya. (Drs. Sudirman N. dkk., 1991 : 203).
Dalam
mengemukakan sumber-sumber belajar ini para ahli sepakat bahwa segala sesuatu
dapat dipergunakan sebagai sumber belajar sesuai dengan kepentingan guna
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Untuk mendapatkan gambaran apa-apa saja
yang termasuk kategori sumber-sumber belajar, berikut di kemukakan
pendapat-pendapat:
Ny.
Dr. Roestiyah, N.K. (1989 : 53) mengatakan bahwa sumber-sumber belajar itu
adalah:
a. Manusia.
b. Buku/perpustakaan.
c. Mass
media (majalah, surat kabar, radio, tv, dan lain-lain).
d. Lingkungan.
e. Alat
pengajaran (buku pelajaran, peta, gambar, kaset, tape, papan tulis, dan
lain-lain).
f.
Museum.
Drs. Sudirman N, dkk. (1991 : 203) mengemukakan
macam-macam sumber belajar sebagai berikut:
a. Manusia
(people).
b. Bahan
(materials).
c. Lingkungan
(setting).
d. Alat
dan perlengkapan (tool and equipment).
e. Aktivitas
(activities).
1. Pengajaran
berprogram.
2. Simulasi.
3. Karyawisata.
4. Sistem
pengajaran modul.
Aktivitas
sebagai sumber belajar meliputi:
-
Tujuan khusus yang harus
dicapai oleh guru.
-
Materi (bahan pelajaran)
yang harus dipelajari.
-
Aktivitas yang harus
dilakukan oleh siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Drs. Udin Saripuddin Winataputra, M.A. dan Drs.
Rustana Ardiwinata (1991 : 165) berpendapat bahwa terdapat sekurang-kurangnya
lima macam sumber belajar, yaitu:
a.
Manusia.
b.
Buku/perpustakaan.
c.
Media massa.
d.
Alam lingkungan:
1. Alam
lingkungan tebuka
2. Alam
lingkungan sejarah atau peninggalan sejarah
3. Alam
lingkungan manusia.
e.
Media pendidikan.
7.
Evaluasi
Istilah
evaluasi berasal dari bahasa inggris, yaitu evaluation.
Dalam buku Essential Of Educational
Evaluation karangan Edwin Wand dan Gerald W. Brown. Dikatakan bahwa Evaluation refer to the act or prosess to
determining the value of something. Jadi, menurut Wand dan Brown, evaluasi
adalah suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu.
Sesuai dengan pendapat diatas, maka menurut Wayan Nurkancara dan P.P.N.
Sumartana, (1983 : 1) evaluasi pendidikan dapat diartikan sebagai tindakan atau
suatu proses untuk menentukan nilai sebagai sesuatu dalam dunia pendidikan atau
segala sesuatu yang ada hubungannya dengan dunia pendidikan.
Berbeda
dengan pendapat tersebut, Ny. Drs. Roestiyah N.K. (1989 : 85) mengatakan bahwa
evaluasi adalah kegiatan mengumpulkan data seluas-luasnya, sedalam-dalamnya,
yang bersangkutan dengan kapabilitas siswa guna mengetahui sebab akibat dan
hasil belajar siswa yang dapat mendorong dan mengembangkan kemampuan belajar.
Dari
kedua pengertian evaluasi tersebut, dapat diketahui tujuan penggunaan evaluasi.
Tujuan evaluasi dapat dilihat dari dua segi, yaitu tujuan umum dan tujuan
khusus. L. Pasaribu dan Simanjuntak menegaskan bahwa:
a. Tujuan
umum dari evaluasi
1. Mengumpulkan
data-data yang membuktikan taraf kemajuan murid dalam mencapai tujuan yang
diharapkan.
2. Memungkinkan
pendidik/guru menilai aktivitas/pengalaman yang didapat.
3. Menilai
metode mengajar yang diterapkan.
b. Tujuan
khusus dari evaluasi adalah:
1. Merangsang
kegiatan siswa.
2. Menemukan
sebab-sebab kemajuan dan kegagalan.
3. Memberikan
bimbingan yang sesuai dengan kebutuhan, perkembangan dan bakat siswa yang
bersangkutan.
4. Memperoleh
bahan laporan tentang perkembangan siswa yang diperlukan orang tua dan lembaga
pendidikan.
5. Untuk
memperbaiki mutu pelajaran/cara belajar dan metode belajar. (Abu Ahmadi dan
Widodo Supriyono, 1991 : 189)
Dalam
tujuan-tujuan yang dikemukakan tersebut, maka pelaksanaan evaluasi mempunyai
manfaat yang sangat besar. Manfaat itu dapat ditinjau dari pelaksanaannya dan
ketika akan memprogramkan serta melaksanakan proses belajar mengajar di masa
mendatang (H. Muhammad Ali, 1992 : 113).
Dari
tujuan itu juga dapat dipahami bahwa pelaksanaan evaluasi diarahkan kepada
evaluasi proses dan evaluasi produk (W.S. Winkel, 1989 : 318). Evaluasi proses
dimaksud, adalah suatu evaluasi yang diarahkan untuk menilai bagaimana pelaksanaan
proses belajar mengajar yang telah dilakukan mencapai tujuan, apakah dalam
proses itu ditemui kendala, dan bagaimana kerja sama setiap komponen
pembelajaran yang telah diprogramkan dalam suatu pelajaran. Evaluasi produk
dimaksud, adalah suatu evaluasi yang diarahkan kepada bagaimana hasil belajar
yang telah dilakukan oleh siswa, dan bagaimana penguasaan siswa terhadap
bahan/materi pelajaran yang telah diberikan oleh guru ketika proses belajar
mengajar berlangsung.
Ketika
evaluasi dapat memberikan manfaat bagi guru dan siswa, maka evaluasi mempunyai
fungsi sebagai berikut:
a. Untuk
memberikan umpan balik kepada guru sebagai dasar untuk memperbaiki proses
belajar mengajar, serta mengadakan perbaikan program bagi siswa.
b. Untuk
memberikan angka yang tepat tentang kemajuan atau hasil belajar bagi setiap
murid. Antara lain digunakan dalam rangka pemberian laporan kemajuan belajar
murid kepada orang tua, penentuan kenaikan kelas, serta penentuan lulus
tidaknay seorang murid.
c. Untuk
menentukan murid didalam situasi belajar mengajar yang tepat, sesuai dengan
tingkat kemampuan yang dimiliki siswa.
d. Untuk
mengenal latar belakang murid yang mengalami kesulitan-kesulitan belajar,
nantinya dapat dipergunakan sebagai dasar dalam pemecahan kesulitan-kesulitan
belajar yang timbul. (Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono, 1991 : 1890).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar